Spiga

Sabar Menahan Amarah

Berikut ini adalah kisah seorang yang berkonsultasi dengan Al Harits Al Muhasibi, karena tidak bisa sabar menahan amarah karena hal – hal yang sepele.

”Aku tidak kuat menahan amarah ketika dicela dan disakiti.” kata si sakit. ”Engkau sulit menahan marah dan mudah membalas, sebab engkau menganggap bahwa menahan marah itu adalah perbuatan hina dan keserampangan sebagai kerhormatan.”kata Al Muhasibi.

”Lalu dengan apa aku dapat menahan amarah yang besar ?” kata si sakit. ”Dengan kesabaran jiwa dan menahan anggota badan.” jawab Al Muhasibi. ”Dengan apa aku bisa mendapatkan kesabaran jiwa dan mengekang anggota badan?” tanya si sakit. ” Dengan mengetahui dan menyadari bahwa menahan marah itu adalah kemuliaan dan keindahan sedangkan keserampangan adalah kehinaan dan corengan.” jawab Al Muhasibi.


”Bagaimana aku dapat menyadari itu sementara dalam hatiku telah bercokol lawannya ? Dan bagaimana pula aku dapat menyadarinya sementara dalam diriku telah timbul suatu perasaan bahwa jika aku tidak membalas, aku merasa terhina di hadapan orang yang memarahiku ? selain itu, dalam hatiku timbul perasaan bahwa orang yang memarahiku adalah telah menginjak-injak harga diriku, dan jika aku tidak membalasnya, aku merasa dianggap sangat lemah dan tidak berdaya ?” tanya si sakit.

”Hatimu terus menerus memiliki perasaaan seperti itu, karena engkau tidak mengetahui bentuk lahir keburukan sikap seseorang yang suka marah. Selain itu engkau tidak mengetahui rahasia menahan marah dan keagungan pahala dari Allah swt. Untukmu di akhirat kelak.” jawab Al Muhasibi.

”Bagaimana caranya supaya aku mengetahui kedua hal tersebut (rahasia menahan marah dan pahala agung) ?” tanya si sakit.

”Adapun keburukan dari suka marah dan tidak bisa menahan marah dapat engkau lihat dari keadaan orang yang memarahi dan mencela dirimu ketika marah dan emosi. Perhatikan roman mukanya, kelopak kedua matanya, warna merah mukanya, pelototan kedua matanya, ketidakelokan penampilannya, kerendahan dirinya dan hilangnya ketenangan dan ketentraman dari dirinya.”

”Engkau melihat dengan jelas keadaan itu dari orang permarah dan tampak nyata oleh setiap orang yang berakal. Jika engkau mendapat ujian dari Allah swt, dengan sikap suka marah, ingatlah pahala yang dijanjikan oleh Allah swt. kepada orang - orang yang menahan marah, yaitu mendapatkan cinta dan pahalanya yang agung. Sesungguhnya sikap suka membalas menimbulkan kegelisahan dan akibat buruk yang akan terus abadi sampai di akhiratmu. Sedangkan menahan marah menimbulkan ketenangan dan dapat menabung pahala Allah swt. di akhirat kelak.”

”Tidaklah pantas seseorang yang berakal rela atas kehinaan dari akibat dirinya suka dengan kepuasan sekejap, seperti ia marah - marah hanya karena satu perkataan saja, bertindak melampaui batas, sedang anggota badannya tak terkendali, padahal perkataan tersebut tidak mengharuskan si pengucapnya untuk dimarahi. Dan orang yang mendengarnyapun tidak akan rugi, baik secara keagamaan ataupun keduniaan, bahkan sebenarnya si pengucap itu mesti disayangi, karena ia telah menjatuhkan harga diri dan martabatnya serta masuk ke dalam kehinaan. Sementara bagi yang dimarahi dan dihina, haruslah bersyukur sebab ia sesungguhnya tidak dijatuhkan martabatnya, tidak seperti yang menghinanya.” jawab Al Muhasibi.

Demikian semoga menjadi bahan renungan.

----------------------------------------------------------------

Diambil dari ”Psikoterapi Sufistik: karya Dr. Amir An Najar

0 komentar: