Spiga

Belum Haji Sudah Mabrur

Oleh: Ahmad Tohari

Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali, karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun.
Jadilah, Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus meningkat, dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta.

Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka, ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya meninggal, Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi terdampar di Jakarta. Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus.

Yu Timah pernah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu, Yu Timah masih bisa menabung di BPR syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi, Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun, setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu, saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.

Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.

‘’Pak, saya mau mengambil tabungan,'’ kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.

‘’O, tentu bisa. Tapi, ini hari sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila senin?'’

‘’Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.'’

‘’Mau ambil berapa?'’ tanya saya.

‘’Enam ratus ribu, Pak.'’

‘’Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?'’

Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.

‘’Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.'’

Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan, dia mengulangi kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang tabungannya. Padahal, saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.

‘’Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?'’

‘’Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama ini memang saya hanya jadi penerima. Namun, sekarang saya ingin jadi pemberi daging kurban.'’

‘’Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.'’

Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul, karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak orangnya. Mungkin, saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.

Penulis adalah budayawan dan sastrawan.
Tulisan ini juga dimuat di Majalah MataAir edisi ke-7 "Awas, Culik Berkedok Agama"
Sumber : www.gusmus.net

Baca Selengkapnya ...

Di Zawiyyah Sebuah Masjid

Oleh Emha Ainun Nadjib

Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid.

Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.
"Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya," berkata Pak Kiai kepada santri pertama, "apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?"

"Agama," jawab santri pertama.

"Berapa jumlahnya?"

"Satu."

"Tidak dua atau tiga?"

"Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan."

**

Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, "Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?"

"Islam."

"Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?"

"Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda."

"Kenapa kau katakan demikian?"

"Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil.

Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar Islam."

"Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?"

"Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia."

**

Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. "Allah mengajari Adam nama benda-benda," katanya, "bahasa apa yang digunakan?"

Dijawab oleh santri ketiga, "Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur'an."

"Bagaimana membuktikan hal itu?"

"Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal mereka buta sama sekali terhadap masa silam."

"Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?"

"Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah."

"Maksudmu, Nak?"

"Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur'an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil 'alamin, berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur'anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi."

**

"Temanmu tadi mengatakan," berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat, "bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau menjelaskan hal itu?"

"Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan," jawab santri keempat, "Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau proses pertumbuhan."

"Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?"
"Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah."
"Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?"
"Aku mengakui nilai-nilai yang termuat dalam yang disebut agama-agama itu --sebelum dimanipulasikan-- sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada tahap tertentu, yakni sebelum disempurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama --dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan sebenarnya yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan rekayasa manusia."

**

Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, "Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum Muhammad?"

"Islam, Kiai."

"Apa agama Ibrahim?"

"Islam."

"Apa agama Musa?"

"Islam."

"Dan agama Isa?"

"Islam."

"Sudah bernama Islamkah ketika itu?"

"Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum."

**

"Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?" Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.

"Membebaskan," jawab santri itu.

"Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!"

"Menyelematkan, Kiai."

"Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?"

"Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa' atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam --sistem nilai hasil karya Allah yang dahsyat itu-- dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah."

"Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?"

"Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal, berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah."

**

Pak Kiai menuding santri ketujuh, "Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?"

"Benar, Kiai," jawabnya, "Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah."

"Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?"

"Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapat dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya."

"Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?"

"Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah.

Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya."

**

"Cahaya Islam. Apa itu gerangan?"

Santri ke delapan menjawab, "Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra'. Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia."

"Pemikiranmu lumayan," sahut Pak Kiai, "Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya itu?"

"Ya, Kiai."

"Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?"

"Dinihari rekayasa teknologi."

"Dari Nuh?"

"Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah."

"Hud?"

"Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi canggih."

"Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?"

"Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman secara lebih detil."

"Pada Ismail?"

"Pengurbanan dan keikhlasan."

"Ayyub?"

"Ketahanan dan kesabaran."

"Dawud?"

"Tangis, perjuangan dan keberanian."

"Sulaiman?"

"Ke-waskita-an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan."

"Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!"

"Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian."

"Dari Zakaria?"

"Dzikir."

"Isa?"

"Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub."

"Adapun dari Muhammad, anakku?"

"Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya."

**

Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. "Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?"

"Tak menentu, Kiai," jawab sanri terakhir itu, "Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat lain kami adalah Ayyub --tetapi-- yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok mengerjakan sawah-sawah Fir'aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu."

Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, "Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan kami."

"Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan."

Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.

"Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera."

"Anakku," Pak Kiai menyela, "pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa."

"Insyaallah tidak, Kiai," jawab sang santri, "Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir'aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar, hanyut dan tidak berjuang."

**

Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.

"Sampai tahap ini," kata Pak Kiai, "cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini kalian jawab."

"Kami berusaha, Kiai," jawab mereka.

"Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?"

"Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan," berkata salah seorang.

"Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas. Tak lebih tak kurang," sambung lainnya.

"Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat," sambung yang lain lagi.

"Mencari titik koordinat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah."

"Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan."

"Hikmah, maw'idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan."

"Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun proses sejarah."

"Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan."

"Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah."

Pak Kiai tersenyum, "Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku?"

"Lentur, Kiai!" kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu.

"Fal-yatalaththaf!" ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, "titik pusat Al-Qur'an!"

sumber : media.isnet.org

Baca Selengkapnya ...

Definisi Tasawuf

Definisi Tasawuf

Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa.

Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci.

Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari shuffa, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang me- nunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.

Apa pun asalnya, istilah tasawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.

Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.

Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.

Saya kutipkan di bawah ini beberapa definisi dari syekh besar sufi:
Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata.

Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."
Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809):

Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.

Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk".

Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tasawuf seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.

Dalam konteks Islam tradisional tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal. Ke baikan dimulai dari adab lahiriah, dan kaum sufi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada dalam batas-batas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan jalan ketaatan kepada Allah. Jadi, tasawuf dimulai dengan mendapatkan pe ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun, mengembangkan, dan menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar.

Adalah keliru mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah tasawuf, yakni cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'rifah) tanpa memelihara kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini-perilaku--fisik--didasarkan pada doa dan pelaksanaan salat serta semua amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu') dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah yang terisi dan terpelihara baik.

Sumber : www.cybermq.com

Baca Selengkapnya ...

I'tikaf

I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda :
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال :كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعتكف العشر الأواخر من رمضان ، متفق عليه .
" Dari Ibnu Umar ra. ia berkata, Rasulullah saw. biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
عن أبي هريرة رضى الله عنه قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما ـ رواه البخاري.
" Dari Abu Hurairah R.A. ia berkata, Rasulullah SAW. biasa beri'tikaf pada tiap bulan Ramadhan sepuluh hari, dan tatkala pada tahun beliau meninggal dunia beliau telah beri'tikaf selama dua puluh hari. (Hadist Riwayat Bukhori).
Sebagian ulama mengatakan bahwa ibadah I'tikaf hanya bisa dilakukan dengan berpuasa.

Tujuan I'tikaf.
1. Dalam rangka menghidupkan sunnah sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam rangka pencapaian ketakwaan hamba.
2. Sebagai salah satu bentuk penghormatan kita dalam meramaikan bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan rahmat dari Allah swt.
3. Menunggu saat-saat yang baik untuk turunnya Lailatul Qadar yang nilainya sama dengan ibadah seribu bulan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam surat 97:3.
4. Membina rasa kesadaran imaniyah kepada Allah dan tawadlu' di hadapan-Nya, sebagai mahluk Allah yang lemah.

Rukun I'tikaf.
I'tikaf dianggap syah apabila dilakukan di masjid dan memenuhi rukun-rukunnya sebagai berikut :
1. Niat. Niat adalah kunci segala amal hamba Allah yang betul-betul mengharap ridla dan pahala dari-Nya.
2. Berdiam di masjid. Maksudnya dengan diiringi dengan tafakkur, dzikir, berdo'a dan lain-lainya.
3. Di dalam masjid. I'tikaf dianggap syah bila dilakukan di dalam masjid, yang biasa digunakan untuk sholat Jum'ah. Berdasarkan hadist Rasulullah saw.
" ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع ـ رواه أبو داود.
"Dan tiada I'tikaf kecuali di masjid jami' (H.R. Abu Daud)
4. Islam dan suci serta akil baligh.

Cara ber-I'tikaf.
1. Niat ber-I'tikaf karena Allah. Misalnya dengan mengucapkan : Aku berniat I'tikaf karena Allah ta'ala.
نويت الاعتكاف لله تعالى
2. Berdiam diri di dalam masjid dengan memperbanyak berzikir, tafakkur, membaca do'a, bertasbih dan memperbanyak membaca Al-Qur'an.
3. Diutamakan memulai I'tikaf setelah shalat subuh, sebagaimana hadist Rasulullah saw.
وعنها رضى الله عنها قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر ثم دخل معتكفة "ـ متفق عليه .
"Dan dari Aisyah, ia berkata bahwasannya Nabi saw. apabila hendak ber-I'tikaf beliau shalat subuh kenudian masuk ke tempat I'tikaf. (H.R. Bukhori, Muslim)
4. Menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak berguna. Dan disunnahkan memperbanyak membaca:
أللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عنا
Ya Allah sesungguhnya Engkau Pemaaf, maka maafkanlah daku.

Waktu I'tikaf.
1. Menurut mazhab Syafi'i I'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu apa saja, dengan tanpa batasan lamanya seseorang ber-I'tikaf. Begitu seseorang masuk ke dalam masjid dan ia niat I'tikaf maka syahlah I'tikafnya.
2. I'tikaf dapat dilakukan selama satu bulan penuh, atau dua puluh hari. Yang lebih utama adalah selama sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadhan sebagaimana dijelaskan oleh hadist di atas.

Hal-hal yang membatalkan I'tikaf.
1. Berbuat dosa besar.
2. Bercampur dengan istri.
3. Hilang akal karena gila atau mabuk.
4.Murtad (keluar dari agama).
5. Datang haid atau nifas dan semua yang mendatangkan hadas besar.
6. Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak atau uzur, karena maksud I'tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan tujuan hanya untuk ibadah.
7. Orang yang sakit dan membawa kesulitan dalam melaksanakan I'tiakf.

Hikmah Ber-I'tikaf .
1. Mendidik diri kita lebih taat dan tunduk kepada Allah.
2. Seseorang yang tinggal di masjid mudah untuk memerangi hawa nafsunya, karena masjid adalah tempat beribadah dan membersihkan jiwa.
3. Masjid merupakan madrasah ruhiyah yang sudah barang tentu selama sepuluh hari ataupun lebih hati kita akan terdidik untuk selalu suci dan bersih.
4. Tempat dan saat yang baik untuk menjemput datangnya Lailatul Qadar.
5. I'tikaf adalah salah satu cara untuk meramaikan masjid.
6. Dan ibadah ini adalah salah satu cara untuk menghormati bulan suci Ramadhan.

Sumber : www.pesantrenvirtual.com

Baca Selengkapnya ...

GHIBAH DAN PUASA

Dari 'Ubaid r.a, dia berkata : "Di masa Rasulullah S.A.W , beliau memerintahkan orang-orang berpuasa selama satu hari. Lalu mereka pun berpuasa. Saat itu ada dua orang wanita berpuasa, dan mereka sangat menderita karena lapar dan dahaga pada sore harinya.

Kemudian kedua wanita itu mengutus seseorang menghadap Rasulullah S.A.W , untuk memintakan izin bagi keduanya agar diperbolehkan menghentikan puasa mereka.
Sesampainya utusan tsb kepada Rasulullah S.A.W , beliau memberikan sebuah mangkuk kepadanya untuk diberikan kepada kedua wanita tadi, seraya memerintahkan agar kedua-duanya memuntahkan isi perutnya ke dalam mangkuk itu.

Ternyata kedua wanita tsb memuntahkan darah dan daging segar, sepenuh mangkuk tersebut, sehingga membuat orang-orang yang menyaksikannya terheran-heran.

Dan Rasulullah S.A.W bersabda : "Kedua wanita ini berpuasa terhadap makanan yang dihalalkan Allah tetapi membatalkan puasanya itu dengan perbuatan yang diharamkan oleh-Nya. Mereka duduk bersantai sambil menggunjingkan orang-orang lain. Maka itulah 'daging-daging' mereka yang dipergunjingkan." (Hadits Riwayat Ahmad)

“Orang yang menggunjing dan mendengarkan gunjingan , keduanya bersekutu dalam perbuatan dosa.” (Hadits Riwayat Ath-Thabrani)
"Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita dusta dan banyak memakan yang haram." (Al-Qur'an Surat Al-Maidah : 42)

Allah SWT berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. " (Al-Qur'an Surat Al-Hujuraat:12)

SUDAHKAH KITA MENJAGA PUASA KITA?

Rasulullah S.A.W bersabda : "Puasa adalah perisai (tabir penghalang dari perbuatan dosa). Maka apabila seseorang dari kamu sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan sesuatu yang keji dan janganlah ia berbuat jahil." (Hadits Riwayat Bukhari - Muslim)
"Lima hal yang dapat membatalkan puasa: berkata dusta, ghibah (menggunjing), memfitnah, sumpah dusta dan memandang dengan syahwat." (Hadits Riwayat Al-Azdiy)

"Barangsiapa yang tidak dapat meninggalkan perkataan kotor dan dusta selama berpuasa, maka Allah SWT tidak berhajat kepada puasanya." (Hadits Riwayat Bukhari)
“Orang yang menggunjing dan mendengarkan gunjingan, keduanya bersekutu dalam perbuatan dosa.” (Hadits Riwayat Ath-Thabrani)

"Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak didapatkan dari puasanya itu kecuali haus dan lapar." (Hadits Riwayat Turmudzi)

Imam Al-Ghazali berkata : "Berapa banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan dari puasanya itu, selain lapar dan haus. Sebab puasa itu bukanlah semata-mata menahan lapar dan haus, akan tetapi adalah menahan hawa nafsu. Boleh jadi orang tersebut berdusta, menggunjing dan memandang dengan syahwat, sehingga yang demikian itu membatalkan hakikat puasa." (Ihya' Ulumiddin)

Para Ulama berkata: "Betapa banyak orang yang berpuasa padahal ia berbuka (tidak berpuasa) dan betapa banyak orang yang berbuka padahal ia berpuasa." Yang dimaksud dengan orang yang berbuka tetapi berpuasa ialah menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan dosa sementara ia tetap makan dan minum. Sedangkan yang dimaksud dengan berpuasa tapi berbuka ialah yang melaparkan perutnya sementara ia melepaskan kendali bagi anggota tubuh yang lain." (Ihya' Ulumiddin)

Rasulullah S.A.W bersabda : "Sesungguhnya puasa itu adalah amanah, maka hendaknya masing-masing kamu menjaga amanahnya." (Hadits Riwayat Al-Kharaithy)

Sudahkah kita menjaga puasa kita?

Baca Selengkapnya ...

Jadwal Kegiatan Ramadhan

Baca Selengkapnya ...

Puasa Secara Takhalli, Tahalli dan Tajalli

Drs. Syamsuri, MA. - Tim Penulis Ensiklopedi Tasawuf

Selama ini banyak orang yang berpuasa tetapi tidak berbekas. Sebab menurut dosen sekaligus Ketua Jurusan Aqidah Filsafat & Pemikiran Politik Islam pada UIN Jakarta ini, mereka tidak memenuhi kriteria puasa secara sufistik. Apa saja kriteria puasa secara sufistik itu? Berikut petikan wawancara Sufi dengan kandidiat doktor yang tengah menyelesaikan penelitian disertasi tentang Tasawuf Seyyed Hossein Nasr pada Pascasarjana UIN Jakarta ini.

Sejauh yang anda ketahui bagaimana pandangan kaum sufi pada umumnya mengenai hakikat ibadah, terutama ibadah puasa?
Pertama-tama, ibadah apapun bagi kaum sufi secara umum bisa dikerangkakan ke dalam tiga langkah atau tahapan, yaitu takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli secara bahasa berarti mengosongkan, dalam terminologi tasawuf berarti membersihkan diri dari berbagai dosa yang mengotori jiwa, baik dari dosa lahir maupun dari dosa batin, atau istilah al-Ghazali itu penyakit hati. Yang dimaksud dosa lahir di sini adalah setiap perbuatan dosa yang melibatkan aspek fisik atau badan jasmani kita. Contohnya seperti membunuh, berzina, merampok, mencuri, mabuk-mabukan, menyalahgunakan narkoba dan sebagainya. Adapun yang termasuk dosa batin atau dosa yang timbul dari aktivitas hati antara lain berdusta, menghina orang lain, memfitnah, ghibah, dendam, iri, dengki, riya, ujub, takabur dan sebagainya.

Adapun tahalli secara bahasa berarti menempatkan atau mengisi. Dalam dunia tasawuf berarti mengisi atau menghiasi diri dengan berbagai amal saleh, baik amalan lahir maupun amalan batin. Atau kalau lebih dalam lagi, berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dengan “meniru” akhlak atau sifat-sifat Allah serta meneladani akhlak Rasul Allah. Dalam kaitan ini misalnya ada hadits yang sudah cukup populer karena sering dikutip, takhallaqu bi akhlaqillah. Mengenai keteladanan Rasul ada ayat, laqad kana lakum fi rasullillah uswatun hasanah.

Sedangkan tajalli merupakan hasil atau buah dari dua langkah sebelumnya, takhalli dan tahalli, yang berupa tersingkapnya selubung atau hijab yang menghalangi seorang manusia dengan Tuhan, sehingga ia benar-benar dekat dengan Allah, sudah benar-benar merasakan kehadiran Allah secara intens. Bahkan pengalaman spiritual yang lebih intens lagi melalui proses tajalli ini adalah bersanding, bahkan bersatu dengan-Nya.

Lalu mengapa manusia itu dapat terjebak pada perbuatan dosa?
Jadi begini! Dalam pandangan kaum sufi, kualitas ruhani manusia itu pada dasarnya adalah suci, dalam istilah agama disebut fitrah, karena memang ia bersumber dari Allah SWT langsung. Nabi sendiri pernah bersabda: “Setiap (bayi) yang dilahirkan pada mulanya bersifat suci (fitrah), kedua orangtuanya lah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Jadi kualitas ruhani manusia itu sebermulanya laksana kaca yang sangat bening, yang dapat menerima dan memantulkan kembali dengan sempurna setiap cahaya yang datang. Demikian halnya jiwa yang suci dapat menerima dengan sempurna cahaya kebenaran (hidayah) dari Tuhan untuk kemudian memantulkannya kembali dengan sempurna dalam bentuk akhlaq al-karimah.

Kaitannya dengan takhalli?
Seperti ibadah-ibadah lainnya, puasa bagi kaum sufi adalah sebagai sarana atau media untuk melakukan takhalli, tahalli, dan pada akhirnya mencapai tajalli. Bahkan, dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya, puasa merupakan media atau sarana yang paling lengkap untuk melakukan ketiga langkah tersebut.

Jadi makna puasa secara sufistik itu?
Puasa, secara bahasa berarti imsak (menahan, menghentikan, atau mengendalikan). Dalam dunia tasawuf, yang dimaksud puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu, yang kalau ia tidak terkendali akan menjadi sumber dan penyebab terjadinya berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa. Jadi lingkup hawa nafsu di sini bukan cuma mengekang nafsu makan dan nafsu seksual saja. Pengendalian nafsu yang merupakan inti dari puasa itu dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala dosa, yang dalam istilah tasawuf disebut dengan takhalli tadi!

Berarti harus bertakhalli?
Ya! Sebab orang yang berpuasa tetapi masih juga melakukan berbagai dosa, baik dosa lahir maupun dosa batin, berarti dia tidak mampu mengendalikan nafsu, dan karena itu puasa yang dilakukannya tidak bernilai sama sekali. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, pada bulan Ramadan ada seorang wanita mencaci maki pembantunya. Ketika Rasalullah mengetahui kejadian tersebut, beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil wanita itu, lalu Rasulullah bersabda, "makanlah makanan ini". Wanita itu menjawab, “saya ini sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasululah bersabda lagi, "Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesunguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa banyaknya orang yang berpuasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.”

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral di balik ibadah puasa itu, yaitu berupa takhalli dari dosa lahir dan batin, maka puasanya itu tidak lebih dari sekedar orang-orang yang lapar saja. Hal ini sesuai juga dengan hadits Nabi yang lain, "Banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga."

Lalu apa kriteria kedua?
Yaitu harus menempuh proses tahalli! Jadi puasa juga melatih orang untuk bertahalli, yakni mengisi dan memenuhi jiwa dengan berbagai perbuatan dan akhlak yang baik. Karena itu, walaupun tidur orang yang berpuasa masih dinilai ibadat, dia juga disunnahkan untuk banyak-banyak melakukan ibadat, seperti salat malam atau qiyam al-lail dengan tarawih dan tahajjud, membaca al-Qur'an, yakni tadarrus dan tadabbur, i'tikaf di masjid, banyak berzikir dan berdoa, banyak bersedekah, menolong orang yang kelaparan dan kesusahan, dan berbagai amal saleh lainnya.

Puasa juga selalu dikaitkan dengan taqwa?
Tujuan utama puasa sesuai dengan penjelasan al-Qur'an adalah untuk mencetak manusia bertaqwa, yang memiliki karakteristik antara lain: beriman pada yang gaib, menegakkan salat, berinfak, beriman pada al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya, yakin akan terjadinya akhirat, mendapat hidayah dan selalu memperoleh kemenangan atau kebahagiaan. Atau adalam rumusan lain memiliki sifat dermawan, mampu mengendalikan emosi, pemaaf, mawas diri (selalu instrospeksi diri) dan selalu berbuat baik (produktif).

Orang taqwa juga selalu menegakkan salat dalam arti selalu memenuhi aktifitas hidup dan jiwanya dengan berbagai macam ibadat, membaca ayat Allah, zikir, doa dan amal saleh lainnya baik berupa lahir maupun batin. Orang yang menegakkan shalat juga selalu terhindar dari segala macam dosa dan maksia, karena salat akan menjadi penjegah orang taqwa dari segala perbuatan dan akhlak yang keji dan munkar.

Orang taqwa juga bersifat dermawan, memiliki kepekaan atau solidaritas sosial yang tinggi, sehingga ia selalu menolong orang yang lemah, menggunakan segala kekuasaan dan kekayaannya untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama, tidak bersifat rakus, tamak, egois dan individualis.

Orang taqwa juga mampu mengendalikan emosi, dia akan tetap berpikir dingin dan jernih meskipun dalam kondisi terjepit atau terpepet; dia akan tetap dapat berbuat adil meskipun terhadap musuh atau orang yang dibencinya. Dia juga akan selalu bersifat lapang dada, menerima dan memaafkan kesalahan orang lain meskipun itu sangat menyakitkan.
Orang taqwa juga selalu mawas diri, senantiasa menerima kritikkan orang lain demi kebaikan, karena itu ia selalu berskap inklusif, terbuka dan selalu menghargai pendapat dan informasi orang lain, meskipun hal itu berbeda atau bertentangan dengan pendapatnya.

Orang taqwa juga yakin pada akhirat, dalam arti selalu berorientasi masa depan, tidak mengejar keseanangan dan kebahagiaan sesaat yang menipu, menghargai waktu, selalu bersikap produktif inovatif, hemat dalam menggunakan energi dan fasilitas, tidak bermewah-mewah apalagi memamerkan kekayaan, hidup sederhana.

Bagaimana pandangan kaum sufi mengenai malam lailatul qadar?
Malam Qadr, malam yang ditentukan, malam yang istimewa, yang juga disebut malam penuh berkah itu, dalam terminologi tasawuf digunakan untuk menggambarkan kondisi puncak spiritual Nabi Muhammad SAW, yakni pencapaian tajalli, tersingkapnya hijab atau dinding yang menghalangi beliau dengan Tuhannya. Karena itu al-Qur'an menggambarkanya sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam di mana Malaikat Jibril mewakili Tuhan bertanazzul ke dalam jiwa Nabi Muhammad, menerima wahyu berupa al-Qur'an, dengan izin Allah, dan membawa kedamaian, keselamatan dan kebahagian sampai terbit fajar.

Rasulullah mencapai tajalli, yang digambarkan dengan lailat al-qadr, setelah beliau menjalani tahapan takhalli dan tajalli dengan tahannuts di gua Hira dan ibadah puasa. Malaikat (yang mewakili Allah) bertanazzul pada malam itu, dapat diartikan Nabi Muhammad telah berhasil mendekati Allah, bersanding bahkan bersatu dengan-Nya. Segala sifat-sifat atau nilai-nilai ketuhanan telah merasuk atau mengalami internalisasi dalam jiwa Nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga memperoleh pencerahan berupa wahyu al-Qur'an, sebagai anugerah Allah, yang berfungsi sebagai pedoman dan petunjuk dalam mengarungi hidup dan kehidupan, yang akan mengantar umat manusia pada kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan; dan akan membawa fajar kehidupan baru yang lebih baik seribu kali lipat dibandingkan kondisi kehidupan umat manusia sebelumnya.

Bagaimana dengan lailatur qadar bagi umat Islam pada umumnya?
Orang yang mengikuti langkah Nabi Muhammad bertakhalli dan tahalli dengan ibadah puasa juga akan berhasil mencapai tajalli, memperoleh lailat al-qadr, walaupun kualitasnya tidak sama dengan yang dicapai oleh Nabi Muhammad sendiri. Ia bisa mendapat tanazzul, bersanding dan bersatu dengan Tuhan, menyerap sifat-sifat, nilai-nilai dan cahaya ketuhanan; memperoleh pencerahan berupa ilham dan inspirasi kebaikan; memantulkan kembali sifat-sifat dan nilai-nilai ketuhanan dengan membawa kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan bagi diri dan masyarakat.

Pendeknya, orang yang mencapai lailat al-qadr akan mengalami revolusi spiritual, ia memiliki kualitas jiwa yang jauh lebih baik dibandingkan manusia lainnya. Namun demikian, kualitas tajalli atau lailat al-qadr yang akan dicapai tiap orang yang berpuasa itu akan berbeda-beda, demikian juga waktu pencapaiannya, tergantung pada intensitas dan kegigihan masing-masing dalam melakukan takhalli dan tahalli dengan atau selama menjalani puasanya itu. Karena itu, bisa jadi ada yang berhasil menjumpai lailat al-qadr pada tanggal 21, 23, 25, 27 atau 29 Ramadan. Inilah yang dimaksud bahwa lailat al-qadr akan datang pada tanggal-tanggal ganjil sepertiga terakhir bulan Ramadan itu.

Sumber : www.sufinews.com

Baca Selengkapnya ...

Keutamaan Bulan Sya'ban

Firman Alloh,”Innaloha wa malaikatahu yusholluna ala nabi, ya ayyuhaladzina amanu shollu alaihi wa salimu taslima”
artinya,” Sesungguhnya Alloh dan malaikatNya bersholawat pada Nabi (Muhammad), wahai orang-orang yang beriman, bersholawatlah pada Nabi (Muhammad)”.

Sabda Nabi,”Bulan Rojab adalah bulan Alloh, bulan Sya’ban adalah bulanku, dan bulan Romadhon adalah bulannya Alloh, tetapi sedikit yang mengingat Sya’ban”

Memang sedikit yang meningat bulan Sya’ban. Sebagai bulannya Nabi Muhammad SAW.

Mengapakah bulan Sya’ban disandarkan pada Nabi Muhammad SAW ??

Perhatikanlah, turunnya ayat di atas, yaitu tentang perintah bersholawat, Firman Alloh,”Innaloha wa malaikatahu yusholluna ala nabi, ya ayyuhaladzina amanu shollu alaihi wa salimu taslima”, ayat tersebut turunnya adalah di dalam bulan Sya’ban.

Sebab itulah, pada bulan ini, bagi orang-orang tasawuf (yang mendalami melalui thoriqoh), merupakan kesempatan besar untuk mendekatkan diri pada nabi Muhammad, melalui memperbanyak membaca sholawat, dimana saja, kapan saja, dan dalam keadaan apa saja.

Kalau bagi orang yang perempuan yang lagi berhalangan, tidak diperkenankan untuk sholat, tetapi membaca sholawat pada Nabi adalah merupakan ibadah yang tetap boleh dilaksanakan oleh mereka.

Kemudian perhatikanlah firman Alloh di atas,

1. Alloh bersholawat pada Nabi Muhammad.

2. Malaikat bersholawat pada Nabi Muhammad.

3. Orang-orang yang beriman bersholawat pada Nabi Muhammad.


Ada tiga macam sholawat pada Nabi Muhammad. SholawatNya Alloh, Sholawatnya malaikat dan sholawatnya orang-orang mukmin. Yang masing-masing adalah berbeda.

Bagi umumnya pemahaman, bersholawat (sholawatnya orang mukmin) adalah MENGHADIAHI do’a pada Nabi. Bagi sebagian lagi orang awam, bersholawat pada Nabi adalah mendo’akan Nabi Muhammad agar senantiasa diberi KESELAMATAN.

Maka menurut pemahaman yang saya yakini, dua pendapat umum di atas adalah kurang tepat dan akan membuka peluang bagi orang agama lain untuk menyerang agama Islam.

“Lihatlah, Nabinya Islam itu masih meminta di do’akan supaya selamat, maka jelas berarti Nabi Muhammad adalah BELUM selamat. Ya lebih baik beragama Kristen, karena Yesus tidak minta dido’akan selamat lagi, karena Dia adalah Juru selamat.”

Bagaimanakah seandainya kita ditanya seperti itu ???

Perhatikanlah yang kedua.

Masalah MENGHADIAHI do’a pada nabi Muhammad. Hadiah itu diberikan dari seseorang yang “berlebih”, pada seseorang yang “kurang”.

Maka beranikah kita mengatakan derajat kita MELEBIHI derajatnya Nabi Muhammad SAW??


Sama artinya menaburkan garam ke dalam lautan.

(“Nguyahi segoro”, -bhs Jawa).



Lalu, bagaimanakah semestinya ???

Ada lagi yang berpendapat, bahwa ibaratnya kita membaca sholawat itu, seperti menambahi air di satu tempat, sedangkan di tempat itu airnya sudah penuh, maka air yang kita tambahkan akan jatuh kembali pada diri kita.

Ini juga sama saja kurang tepatnya.

Pahamilah ini benar-benar.

Bahwa Nabi Muhammad itu adalah sebaik-baiknya manusia dan semulia mulianya manusia. Beliaulah yang dapat memberikan SYAFA’AT pada kita.

Beliaulah USWATUN HASANAH, beliaulah WASILATUL UDMA.


Lalu bagaimanakah semestinya iktiqod kita di saat bersholawat ???

“Sholawat” akar katanya adalah “Shollu”. Sama dengan akar kata dari “Sholat”, yang “Shollu” itu berarti “HUBUNGAN”, pada saat kita membaca sholawat pada Nabi, ibarat kita memasang suatu jalur penghubung antara kita pada Nabi.

Atau itu sama artinya kita menjalin KOMUNIKASI dengan nabi Muhammad.

Di sinilah mestinya IKTIQOD kita.

Sambil mengharap syafaat beliau, mengharap petunjuk beliau, mengharap limpahan rohmat beliau, sebagaimana yang sudah kita pahami.

“TAAT pada ROSULULLOH sama dengan TAAT pada ALLOH”

“Tidak akan sampai pada ALloh kecuali melalui Muhammad”.



Apakah kita pernah berpikir bahwa ALloh mengajarkan Islam secara langsung pada kita ??

Tidak......., melainkan Melalui beliaulah(Muhammad), Alloh menurunkan ajaran Islam pada seluruh umat manusia.

Beliaulah WASILATUL ‘UDMA, atau “WASILAH YANG AGUNG”.

Kemudian melalui para Ulama “Warosatul Anbiya” atau Ulama yang mewarisi ilmu-ilmu para nabi-lah kita memperoleh pengajaran dan keterangan tentang agama Islam.

Tidak langsung dari Alloh seketika, pada kita, melainkan melalui perantara beliau-beliau itu, para alim ulama, para tabiin, para sahabat dan melalui Nabi Muhammad SAW.

Sebab itulah Alloh memerintahkan pada kita di Al-Qur’an untuk mencari PERANTARA atau WASILAH yang dapat mendekatkan diri pada-Nya.

Para sahabat juga berdo’a dengan memanfaatkan PERANTARA Muhammad, Paman Muhammad, Ibnu Abbas, dll.

Kembali pada keutamaan bulan Sya’ban.

Pada bulan ini, sekali lagi merupakan kesempatan kita mendekatkan diri pada Nabi Muhammad SAW melalui banyak-banyaklah membaca sholawat pada beliau.

Sholawatnya Alloh pada Muhammad adalah berbeda dengan sholawatnya malaikat pada Nabi Muhammad, dan berbeda pula dengan sholawatnya orang mukmin pada Muhammad.

Sholawatnya malaikat adalah berbeda dengan sholawatnya Alloh pada Muhammad dan berbeda pula dengan sholawatnya orang mukmin pada Muhammad SAW.

Kemudian, Pada tanggal 15 Sya’ban atau nisfu sya’ban, merupakan puncak keistimewaan bulan ini, dan sungguh-sungguh sangat merugi orang yang tidak mau memanfaatkan tanggal tersebut untuk memohon pada Alloh.

Pada tanggal 15 Sya’ban itu-lah turun 300 rohmat, sebagaimana berita Jibril pada Muhammad.

Dan pada tanggal 15 Sya’ban inilah seandainya catatan “pencabutan nyawa seseorang” untuk tahun depan sudah akan berlaku, pada malam 15 Sya’ban ini, catatan itu turun pada malaikat pencabut nyawa.

Sekelompok orang-orang tasawuf memanfaatkan malam ini untuk memohon pada Alloh, agar seandainya catatan itu untuk kita sudah turun, mohon supaya ditangguhkan.

(Di Jombang Ploso Jawa Timur, dengan dipimpin oleh Syech Muchammad Muchtar bin al-Haj abdul Mu’thi - Mursyid thoriqoh Shiddiqiyyah-, biasanya diajak berdo’a bersama untuk beberapa permohonan, salah satunya adalah tentang masalah itu)

Pada bulan Sya’ban ini marilah, saya mengajak saudara-saudara seiman, untuk benar-benar memanfaatkan hari-hari, jam-jam, bahkan tiap detik, untuk dijaga agar tidak lepas HUBUNGAN dengan Nabi Muhammad SAW, melalui bacaan-bacaan sholawat.

wasalam

Sumber : www.huttaqi.com

Baca Selengkapnya ...

Ibnu Taimiyah

Demi Allah, tidaklah benci kepada Ibnu Taimiyah melainkah orang yang bodoh atau pengikut hawa nafsu. Qodhinya para qadhi Abdul Bar As-Subky

NAMA DAN NASAB

Beliau adalah imam, Qudwah, `Alim, Zahid dan Da`i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya; Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela dinullah daan penghidup sunah Rasul shalallahu`alaihi wa sallam yang telah dimatikan oleh banyak orang, Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy Al-Harrany Ad-Dimasyqy.Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu`ul Awal tahun 661H.

Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.

Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta`ala. Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya dapat selamat.

PERTUMBUHAN DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur`an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.

Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab.

Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu`jam At-Thabarani Al-Kabir.

Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.

Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya shallallahu`alaihi wa sallam.

Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.

Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha` dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.

PUJIAN ULAMA Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.

Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah ….. dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam serta lebih ittiba` dibandingkan beliau.

Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.

Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-`Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: Dia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma`ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.

Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta`dil, Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri padanya .. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa menyamai atau mendekati tingkatannya .. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.

Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.

DA`I, MUJAHID, PEMBASMI BID`AH DAN PEMUSNAH MUSUH Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da`i yang tabah, liat, wara`, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedannya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.

Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang amir yang mempunyai diin yang baik dan benar, memberikan kesaksiannya: …tiba-tiba (ditengah kancah pertempuran) terlihat dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan peringatan keras supaya tidak lari… Akhirnya dengan izin Allah Ta`ala, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.

Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak kepada al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.

KEHIDUPAN PENJARA Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal`ah di Dimasyq. Dan beliau berkata: Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.

Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata:

Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!!

Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku

Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku

dan tiada pernah tinggalkan aku.

Aku, terpenjaraku adalah khalwat

Kematianku adalah mati syahid

Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.

Beliau pernah berkata dalam penjara:

Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.

Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang aqidah, tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid`ah.

Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari`at Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.

Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan munafiqin serta ahlul bid`ah semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.

Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.

WAFATNYA

Beliau wafatnya di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya yang menonjol, Al-`Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah.

Beliau berada di penjara ini selamaa dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur`an. Dikisahkan, dalam tiah harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al-Qur`an delapan puluh atau delapan puluh satu kali.

Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa.

Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara`, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.

Seorang saksi mata pernah berkata: Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. Bahkan menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.

Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, tokoh Salaf, da`i, mujahidd, pembasmi bid`ah dan pemusnah musuh. Wallahu a`lam.

Dinukil dari buku: Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli, cet II 1397 H/1977 M. Maktabah Dar-Al-Ma`rifah–Dimasyq. hal. Depan.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Taimiyah

Baca Selengkapnya ...

Ibnu Araby

Ibnu 'Araby dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali. Lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Juli 1165 M, di Kota Marsia, ibukota Andalusia Timur (kini Spanyol), Ibnu 'Araby bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Ia juga mendapat gelar sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.

Tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sikap demikian kelak ditanamkan kuat pada anak-anaknya, tak terkecuali Ibnu 'Araby. Sementara ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia.

Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme 'Araby kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan kepribadian Ibnu 'Araby. Kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sastra. Karena itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.

Meski Ibnu 'Araby belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira'ahnya, serta kepada Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun'im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis madzhab Imam Malik dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiry, Ibnu 'Araby sama sekali tidak bertaklid kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid.

Ibnu 'Araby membangun metodologi orisinal dalam menafsirkan Alquran dan Sunnah yang berbeda dengan metode yang ditempuh para pendahulunya. Hampir seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran teosofik yang sangat cemerlang. "Kami menempuh metode pemahaman kalimat-kalimat yang ada itu dengan hati kosong dari kontemplasi pemikiran.

Kami bermunajat dan dialog dengan Allah di atas hamparan adab, muraqabah, hudhur dan bersedia diri untuk menerima apa yang datang dari-Nya, sehingga Al-Haq benar-benar melimpahkan ajaran bagi kami untuk membuka tirai dan hakikat... dan semoga Allah memberikan pengetahuan kepada kalian semua..." ujar Ibnu 'Araby suatu kali.

Jalan tengah

Pada perjalanan intelektualismenya, Ibnu 'Araby akhirnya menempuh jalan halaqah sufi (tarekat) dari beberapa syeikhnya. Setidaknya, ini terlihat dari apa yang ia tulis dalam salah satu karya monumentalnya Al-Futuhatul Makkiyah, yang sarat dengan permasalahan sufisme dari beberapa syeikh yang memiliki disiplin spiritual beragam. Pilihan ini juga yang membuat ia tak menyukai kehidupan duniawi, sebaliknya lebih memusatkan pada perhatian ukhrawi.

Untuk kepentingan ini, ia tak jarang melanglang buana demi menuntut ilmu. Ia menemui para tokoh arif dan jujur untuk bertukar dan menimba ilmu dari ulama tersebut. Tidak mengherankan bila dalam usia yang sangat muda, 20 tahun, Ibnu 'Araby telah menjadi sufi terkenal.

Menurutnya, tarekat sufi dibangun di atas empat cabang, yakni: Bawa'its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa'i (pilar pendorong ruhani jiwa); Akhlaq, dan Hakikat-hakikat. Sementara komponen pendorongnya ada tiga hak. Pertama, hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak dimusyriki sedikitpun. Kedua, hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka. Ketiga, hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (tarekat) yang di dalamnya kebahagiaan dan keselamatannya.

Pada hak Allah (hak pertama), dapat dilacak secara sempurna pada seluruh karya Ibnu 'Araby. Di sini, tauhid dijadikan sebagai konsumsi, iman sebagai cahaya hati, dan Alquran sebagai akhlaknya. Lalu naik ke tahap yang tak ada lagi selain al-Haq, yakni Allah SWT. Karakter Ibnu 'Araby senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur. Kuncinya senantiasa bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi al-Haq.

Sementara rahasia batinnya bermukim menyertai-Nya, tak ada yang lain yang menyibukkan dirinya kecuali Tuhannya. Ibnu 'Araby menggunakan kendaraan mahabbah (kecintaan), bermadzhab ma'rifah, dan ber-wushul tauhid. Ubudiyah dan iman satu-satunya dalam pandangan 'Araby hanyalah kepada Allah Yang Esa dan Mahakuasa, Yang Suci dari pertemanan dan peranakan.

Sementara hak sesama makhluk, ia mengambil jalan taubat dan mujahadah jiwa, serta lari kepada-Nya. Ia gelisah ketika kosong atas tindakan kebajikan yang diberikan Allah, sebagai jalan mahabbah dan mencari ridha-Nya. Hak ini bersumber pada ungkapan ruhani dimana semesta alam yang ada di hadapannya merupakan penampilan al-Haq. Seluruh semesta bertasbih pada Sang Khaliq, dan menyaksikan kebesaran-Nya. Hak terhadap diri sendiri adalah menempuh kewajiban agar sampai pada tingkah laku ruhani dengan cara berakhlak yang dilandaskan pada sifat-sifat al-Haq, dan upaya penyucian dalam taman Zat-Nya.

Kontroversial

Meski demikian, tak sedikit yang menilai pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu 'Araby, terutama kaum fuqaha' dan ahli hadis, sebagai sangat kontroversial. Sebut saja, misalnya, teorinya tentang Wahdatul Wujud yang dianggap condong pada pantheisme. Salah satu sebabnya adalah lantaran dalam karya-karyanya itu Ibnu 'Araby banyak menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan awam. Karenanya, tidak sedikit yang mengganggap 'Araby telah kufur, misalnya Ibnu Taimiyah, dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebaga 'kafir'.

Memang pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu 'Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Araby. "Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Araby yang tidak memahami makna sebenarnya," komentar Ibnu Taimiyah.

Di Indonesia, ketersesatan memahami Ibnu 'Araby juga terjadi khususnya di Jawa, ketika aliran kebatinan Jawa Singkretik dengan tasawuf Ibnu 'Araby. Diskursus Manunggaling Kawula Gusti telah membuat penafsiran yang menyesatkan di kebatinan Jawa, yang sama sekali tidak pantas untuk dikaitkan dengan Wahdatul Wujud-nya Ibnu 'Araby. Bahkan di pulau padat penduduk ini, sudah melesat ke arah kepentingan jargon politik yang menindas atas nama Tuhan. Karena itulah, untuk memahami karya-karya dan wacana Ibnu 'Araby, harus disertai tarekat secara penuh, komprehensif dan iluminatif.

Menurut penelitian para ulama dan orientalis, Ibnu Araby mempunyai sedikitnya 560 kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan dan umum. Malah ada yang mengatakan, termasuk risalah-risalah kecilnya, mencapai 2.000 judul. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir al-Kabir yang terdiri 90 jilid, dan ensiklopedi tentang penafsiran sufistik, yang paling masyhur, yakni Futuhatul Makkiyah (8 jilid), serta Futuhatul Madaniyah. Sementara karya yang tergolong paling sulit dan penuh metafora adalah Fushushul Hikam. Dalam lentera karya dan pemikirannya itulah, ia begitu kuat mewarnai dunia intelektualisme Islam universal.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Araby

Baca Selengkapnya ...

Perhiasan Terindah adalah Wanita Shalehah

Khadijah - The True Love Story of Muhammad SAW
Tak dapat dipungkiri, Khadijah, istri Rasulullah saw., merupakan sosok yang fenomenal. Bukan saja memiliki perilaku yang mulia, Khadijah juga merupakan sosok yang cerdas dengan ketabahan yang luar biasa.

la rela mengorbankan seluruh harta dan jiwanya untuk dakwah Rasulullah. Dengan kematangan, kebijaksanaan, dan integritas dirinya, Khadijah menyokong, membangkitkan tekad, dan mengobarkan semangat dakwah Rasulullah.

Jika ada wanita yang langsung menerima salam dari Allah, maka Khadijahlah orangnya. Peristiwa itu terjadi ketika Jibril mendatangi Rasulullah. Allah menjaga diri Khadijah dari segala cela, sehingga penduduk Mekah menjulukinya sebagai "wanita suci".

Khadijah pun menjadi wanita teristimewa bagi Rasulullah. Rasulullah selalu menyebut-nyebut nama Khadijah dan mengistimewakan teman-teman Khadijah, walau hingga Khadijah wafat. Inilah kisah Khadijah, cinta sejati Rasulullah.

Wanita - Wanita Sekitar Rasulullah ; Oleh: Umar Ahmad ar-Rawi
"Sejarah adalah kumpulan perjalanan hidup orang besar." Kalimat diatas mungkin tidak terlalu tepat menggambarkan arti 'sejarah' yang sebenarnya, namun juga tidak terlalu melenceng karena begitu besarnya peranan seorang pelaku utama sejarah dalam sebuah alur sejarah.

Sejarah Islam juga amat didominasi oleh perjalan hidup para pelakunya, terutama Muhammad Rasulullah saw. Kita mengenal banyak sosok pahlawan Islam di dalam diri sahabat-sahabat Rasulullah, baik dari kalangan kerabatnya, maupun kalangan yang jauh. Baik yang kemudian menjadi pemimpin umat maupun yang tetap menjadi orang biasa. Mereka itu tak hanya dari kalangan laki-laki, tapi juga banyak sahabat wanita.

Namun sayangnya banyak buku yang sudah ditulis tentang para pelaku sejarah permulaan Islam, tak banyak menampilkan tokoh wanita shahabiyah. Kalaupun ada, paling di seputar anak dan isteri Rasulullah saw. saja. Padahal peran para sahabat wanita itu tidak kalah besar dibanding sahabat laki-laki.

Untuk mengisi celah informasi sejarah ini, Umar Ahmad ar-Rawi menulis buku ini. Tak kurang dari 122 srikandi ditampilkan di buku laris ini. Mereka adalah wanita-wanita agung yang hidup di masa Rasulullah saw., dan yang setia bersama beliau dalam suka dan duka.

Diantara mereka adalah ibunda, isteri, anak, dan kerabat dekat Rasulullah. Juga wanita yang menyusui dan mengasuh Nabi, serta para shahabiyah lainnya, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Diantara mereka ada pemimpin rumah tangga yang sukses, da'i penyebar agama Islam, pengusaha sukses, bahkan anggota pasukan perang yang gigih membela Rasulullah dengan darah dan nyawanya.

Renew Your Marriage - Kembali Menjaga Bahtera Kembali Memadu Cinta ; Oleh Mohammad Al-Kadhy, Psy. D
bila cintamu cinta sejati
tentu semuanya kan jadi mudah
kar’na segala yang ada di atas tanah
tak lain hanyalah tanah

Siratan makna puisi di atas seakan menjadi saksi betapa akan hangat dan nyamannya bahtera hidup, bila semua masalah secara matang ditempatkan pada duduk perkara sejatinya. Rumah tangga yang tenteram jelas bukan yang tanpa masalah, tapi yang secara dewasa dan bijak, dengan hiasan senyum ataupun linangan air mata, membijaki masalah demi masalah.

Mohammad Al-Khady, Doctor of Psychology, penulis buku ini, meneliti dan mencermati berbagai pengalaman rumah tangga, lalu mendulang berbagai solusi tak terduga untuk kita.

50 Nasihat Rasulullah untuk Kaum Wanita ; Oleh Majdi Sayyid Ibrahim
Pernahkah Anda membayangkan bahwa sesuatu yang tadinya Anda anggap sepele berakhir dengan bencana? Mungkin tanpa Anda sadari, ketika sedang enak-enak mengobrol dengan suami Anda, Anda menceritakan teman wanita Anda kepada suami secara mendalam, termasuk kecantikannya. Begitu antusiasnya Anda sehingga seakan-akan Anda telah menghadirkan teman wanita Anda tersebut ke hadapan suami Anda. Suami Anda pun menjadi tertarik kepada teman wanita Anda dan bisa jadi dia akan berusaha mendekatinya, bahkan tidak mustahil akan mengawininya dan menceraikan Anda, padahal sebelumya suami Anda sama sekali tidak mengenal teman Anda tersebut. Jika hal ini benar-benar terjadi, Anda hanya dapat menyesali kesalahan yang telah Anda lakukan.

Oleh karena itu, Rasulullah Saw. sejak dini telah memperingatkan agar hal yang demikian tidak terjadi. Kesalahan yang sering terjadi pada sebagian istri, sebagaimana disinggung di atas, adalah salah satu tema pembahasan dalam buku ini. Selain itu, masih banyak lagi tema menarik yang semuanya sarat dengan pendidikan dan penyempurnaan akhlak wanita Muslimah. Di antaranya, kemuliaan mendidik anak perempuan, hiburan yang diperbolehkan, dan wasiat Nabi Saw. untuk istri-istri beliau. Dari buku ini, Anda dapat belajar menapaki dunia dan sedapat mungkin melaksanakan nasihat-nasihat Rasulullah Saw. ini dalam kehidupan sehari-hari.

Kisah Teladan Wanita Ahli Surga ; Oleh Musthafa Murad
Ada sepuluh wanita suci yang dijanjikan masuk surga. Siapakah mereka? Mereka adalah wanita-wanita yang menampilkan sifat-sifat dan akhlak yang amat terpuji, antara lain: sungguh-sungguh dalam beribadah; tulus dalam melayani suami; ikhlas dalam beramal; mengorbankan jiwa-raga hanya untuk Allah; dermawan kepada sesama; kasih pada yang lemah dan menderita.

Apa saja yang mereka peroleh kelak di surga? Bagaimana Allah memperlakukan mereka? Kisah-kisah mereka terekam dalam buku yang sarat hikmah ini.

Menjadi Wanita Sukses dan Dicintai ; Oleh Syekh Adnan Ath-Tharsyah
Sukses, sering diidentikkan dengan kehidupan di luar rumah. Baik di tempat bekerja, sekolah atau kampus, dan juga organisasi; entah itu bersifat keagamaan, kemasyarakatan, ataupun politik. Dan, sukses pun menjadi identik dengan karir. Padahal, kesuksesan dalam kehidupan rumah tangga jauh lebih penting dan bernilai artinya bagi seorang manusia.

Bagi wanita, sukses adalah sebuah angan yang mahal. Banyak wanita berusaha keras menggapai sebuah kesuksesan, karena ia dapat memberikan rasa bahagia tersendiri di hati dan menanamkan rasa percaya pada diri sendiri. Lebih dari itu, kesuksesan dapat mendorong semangat bekerja tak kenal lelah dan kemauan untuk selalu maju. Namun, apalah arti sebuah kesuksesan tanpa cinta. Terasa hampa hidup ini jika orang-orang di sekeliling tak mencinta.

Adalah sebuah dambaan sangat mulia; menjadi wanita yang sukses dalam karir, dicintai suami dan anak-anak, dicintai orangtua dan saudara-saudara, disukai teman-teman, dan disukai di masyarakat. Buku "Menjadi Wanita Sukses dan Dicintai" ini —insya Allah— akan membantu setiap wanita untuk dapat meraih sukses dan cinta yang scnantiasa didamba.

Aura Wanita-wanita Sufi ; Oleh Abu Abdurrahman Al-Sulami
Ketika Ibn Arabi mengatakan bahwa, untuk menjadi sufi sejati, seseorang harus menjadi perempuan dulu, tampaknya Guru Agung ini tidak sedang bercanda. Setidaknya, ini terbukti dari banyaknya sufi perempuan yang menjadi guru bagi sufi-sufi besar sekaliber dia, Bayazid Al-Busthami, Dzun Nun Al-Misri dan seterusnya. Sufi perempuan yang dimaksud antara lain: Fathimah dari Kordoba, Fathimah Al-Naisafuri dan Aisyah dari Damaskus.

Tidak seperti dalam fiqih -- yang disebut-sebut sering mengecilkan peran perempuan, kalau bukannya menindas dan dengan demikian melanggar prinsip kesetaraan Al Quran --, dalam tasawuf peran kaum perempuan sungguh amat besar dan diakui. Para sufi seringkali mengenang sufi-sufi perempuan yang menjadi guru mereka, dari siapa mereka menyerap rahasia cinta dan suluh kasih-keibuan yang amat lembut dan indah. Hanya saja, karena mereka kurang dikenal dan amat jarang dilaporkan buku-buku biografi, maka keberadaan mereka seperti terlupakan.

Buku ini memuat tidak kurang dari kisah dan mutiara 84 wanita sufi secara singkat dan memikat. Seluruh materi yang, seperti diakui pentahkik buku ini, amat jarang diangkat oleh buku-buku biografi lainnya.

Baca Selengkapnya ...

Nasehat Rasulullah kepada Fatimah

Suatu hari masuklah Rasulullah SAW menemui anakndanya Fatimah az-zahra rha. Didapatinya anakndanya sedang menggiling syair (sejenis bijirin) dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis.

Rasulullah SAW bertanya pada anakndanya, "Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fatimah? semoga Allah SWT tidak menyebabkan matamu menangis". Fatimah rha. berkata, "ayahanda, penggilingan dan urusan-urusan rumahtangga lah yang menyebabkan anaknda menangis".

Lalu duduklah Rasulullah SAW di sisi anakndanya. Fatimah rha melanjutkan perkataannya, "ayahanda sudikah kiranya ayahanda meminta 'Ali (suaminya) mencarikan anaknda seorang jariah untuk menolong anaknda menggiling gandum dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah?".

Mendengar perkataan anakndanya ini maka bangunlah Rasulullah SAW mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya diucapkannya "Bismillaahirrahmaanirrahiim".

Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah SWT. Rasulullah SAW meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk anakndanya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan sendirinya seraya bertasbih kepada Allah SWT dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir syair itu digilingnya.

Rasulullah SAW berkata kepada gilingan tersebut, "berhentilah berputar dengan izin Allah SWT", maka penggilingan itu berhenti berputar lalu penggilingan itu berkata-kata dengan izin Allah SWT yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata. Maka katanya dalam bahasa Arab yang fasih, "ya Rasulullah SAW, demi Allah, Tuhan yang telah menjadikan engkau dengan kebenaran sebagai Nabi dan Rasul-Nya, kalaulah engkau menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Allah SWT suatu ayat yang berbunyi : (artinya)

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang dititahkan".

Maka hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba menjadi batu yang masuk ke dalam neraka. Rasulullah SAW kemudian bersabda kepada batu penggilingan itu, "bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai Fatimah az-zahra di dalam syurga". Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita itu kemudian diamlah ia.

Rasulullah SAW bersabda kepada anakndanya, "Jika Allah SWT menghendaki wahai Fatimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah SWT menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat.

Ya Fatimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah SWT menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat.

Ya Fatimah, perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah SWT menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit.

Ya Fatimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka Allah SWT akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang.

Ya Fatimah, perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Allah SWT akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautshar pada hari kiamat.

Ya Fatimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keredhaan suami terhadap isterinya. Jikalau suamimu tidak redha denganmu tidaklah akan aku do'akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah bahwa redha suami itu daripada Allah SWT dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah SWT?.

Ya Fatimah, apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah SWT akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Allah SWT mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah yakni berperang sabil.

Apabila ia melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga, dan Allah SWT akan mengkurniakannya pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat.

Ya Fatimah, perempuan mana yang melayani suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat yang benar maka Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah SWT akan memakaikannya satu persalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikurniakan Allah untuknya seribu pahala haji dan umrah.

Ya Fatimah, perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya maka Allah SWT akan memandangnya dengan pandangan rahmat.

Ya Fatimah, perempuan mana yang menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menghias rumah untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit(malaikat), "teruskanlah 'amalmu maka Allah SWT telah mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan datang".

Ya Fatimah, perempuan mana yang meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya sertakukunya maka Allah SWT akan memberinya minuman dari sungai-sungai syurga dan Allah SWT akan meringankan sakratulmautnya, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga serta Allah SWT akan menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia melintas di atas titian Sirat".

Sumber : http://virtualfriends.net/article/articleview.cfm?AID=7677

Baca Selengkapnya ...

"Salafi" Tampering of Riyad al-Salihin

Answered by Shaykh GF Haddad


by Moin Shaheed, President, Ahlus Sunnah Muslim Association of Sri Lanka and GF Haddad ©

Warning : Avoid this English translation of Riyad al-Salihin !

A review of the translation of al-Nawawi's Riyad al-Salihin published in 1999 by Darussalam Publishing House, Riyad : http://www.dar-us-salam.com/h4riyad-us.htm

A team of unprincipled editors and translators out of a Ryad publishing house by the name of Darussalam was commissioned to produce a glossy 2-volume English edition of Imam al-Nawawi's Riyad al-Salihin - being distributed for free to Islamic schools around the world - designed to propagate "Salafi" ideology to the unwary English-speaking Muslim students of Islamic knowledge. This ideology is couched within a thoroughly unscrupulous "commentary" inserted into the book chapters and authored by an unknown or spurious "Hafiz Salahuddin Yusuf of Pakistan," "revised and edited by Mahmud Rida Murad" (1:7). Following are some examples of what is contained in this brand new "Salafi" product:

(a) The work is laced with unabashed eulogy of Nasir Albani whom it calls "the leading authority in the science of hadith" (1:88). The fact is that the only agreed-upon title Albani has been able to earn from the verifying Ulema of the Umma from East to West, is that of erratic innovator.

(b) Declaring that "in case of breach of ablution, the wiping over the socks is sufficient, and there is no need for washing the feet" (1:31). This ruling invalidates one of the conditions of wudu' spelled out in the Qur'an and the Sunna, making salât prayed with such a wiping null and void according to the Four Schools, which prohibit wiping over non-waterproof footwear.

(c) Declaring that "ours should not be the belief that the dead do hear and reply [to our greeting]" (1:515). The Jumhur differs.

(d) Declaring that expressing the intention (niyya) verbally before salât "is a Bid`ah (innovation in religion) because no proof of it is found in Shar'`ah" (1:14). This is not only a wanton attack on the Shafi`i School but an ignorant violation of the criteria of calling something an innovation in the Religion.

(e) "Prohibition [of kissing] is only effective if the kissing of hands is also involved." (2:721). Note that Imam Sufyan al-Thawri called the kissing of the hands of the Ulema a Sunna and that the majority of the scholars concur on its permissibility!

(f) Saying "unapproved hadith" - an invented classification! - for the sahih hadith of the two Jews who kissed the Prophet's - Allah bless and greet him - hands and feet as narrated by al-Tirmidhi (sah'h) and others.

(g) The weakening of the hasan hadith whereby the Prophet kissed Zayd ibn Haritha as narrated by al-Tirmidhi (hasan).

(h) Declaring "the hadiths about the kissing of hands are weak and deficient from the viewpoint of authenticity," an outright lie.

(i) Declaring after the hadith stating: "I suffer like two men of you": "This Hadith... throws light on the fact that the Prophet was merely a human being." (2:737) This discourse is that of the disbelievers mentioned in many places of the Qur'an: {They said: You are but mortals like us} (14:10), {Shall we put faith in two mortals like ourselves?} (23:47), {They said: You are but mortals like unto us} 36:15, {Shall mere mortals guide us?} (64:6).

(j) Claiming: "We are uncertain that after saying a funeral prayer, the Prophet and his Companions ever stood around the bier and supplicated for the dead body. It is an innovation and must be abolished"! (2:755) This is flatly contradicted by the sound narrations ordering the Companions to make du`â for the deceased directly after burial. The commentor(s) go on to say: "It looks strange that believers should persist in reciting supplications in their own self-styled way after the funeral prayer, but desist from them during the funeral prayer to which they have relevance. It implies that prayer is not the object of their pursuit, otherwise they would have prayed in accordance with the Sunna. In fact, they cherish their self-fabricated line of action and seem determined to pursue it." Yet the commentator(s) a few pages later (2:760) state: "The Prophet has instructed his followers that after a Muslim's burial, they should keep standing beside his grave for some time and pray for his firmness"!

(k) Omitting (2:760) to translate the words of Imam al-Shafi`i related by al-Nawawi in Chapter 161 ("Supplication for the Deceased after his Burial"): ""It is desirable (yustahabb) that they recite something of the Qur'an at the graveside, and if they recite the entire Qur'an it would be fine." Omitting to translate these words which are in the original text of Riyad al-Salihin is deceit and a grave betrayal of the trust (amâna) of the translation of one the mother books of knowledge in Islam.

(l) As if the above were not enough, the "commentary" goes on to state: "The reference made to Imam al-Shafi`i about the recitation of Qur'an beside a Muslim's grave is in disagreement with the Prophet's practice... the reference made to Imam al-Shafi`i seems to be of doubtful authenticity"! However, al-Za`farani said: "I asked al-Shafi`i about reciting Qur'an at the graveside and he said: la ba'sa bihi - There is no harm in it." This is narrated by Imam Ahmad's student al-Khallal (d. 311) in his book al-Amr bi al-Ma`ruf (p. 123 #243). Similar fatwas are reported from al-Sha`bi, Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahuyah, and others of the Salaf by no less than Ibn al-Qayyim and al-Shawkani in their books - the putative authorities of the "Salafi" movement.1

(m) Stating (2:761): "Qur'an reading meant to transmit reward to the dead man's soul is against the Prophet's example. All such observances are of no use to the dead." This is the exact same position as the Mu`tazila on the issue, who went so far as to deny the benefit of the Prophet's intercession. It should be noted that the manipulative editors /commentators of Riyad al-Salihin deliberately omit any mention of the Companions' practice, as it is authentically recorded from Ibn `Umar that he ordered that Qur'an be read over his grave, which has the status of the Sunna of the Prophet as this particular Companion was known to be the staunchest of all people in his adherence to the Prophet's example.

(n) Stating (2:761): "For further detail, one can refer to Shaykh al-Albani's Ahkam al-Jana'iz." This is the book in which this man lists among the innovations of misguidance the fact that the Prophet's grave is inside his Mosque in Madina and the fact that it has a dome built over it, and he asks for both of them to be removed.

(o) Stating (2:791-792): "If a woman has no husband or Mahram, Hajj is not obligatory on her. Neither can she go for Hajj with a group of women, whether for Hajj or any other purposes.... Under no circumstances a woman may travel alone." This contradicts the fatwa of the majority of the Ulema as well as the principle that when there is scholarly disagreement over an issue, it becomes automatically impermissible to declare it prohibited.

(p) Rephrasing a hadith (2:810-811) by omitting key words which invalidate their position. In chapter 184 of Riyad al-Salihin titled "Desirability of Assembling for Qur'an-Recitation," al-Nawawi cites the hadith of Muslim whereby the Prophet said: "No group of people assemble in one of the Houses of Allah, all of them reciting [plural pronoun] the Book of Allah (yatlِna kitâb Allâh) and studying It among themselves except Serenity (al-sak'na) shall descend upon them, etc." The editor/ commentator(s) of Riyad al-Salihin rephrased the hadith thus: "Any group of people that assemble in one of the Houses of Allâh to study the Qur'ân, tranquillity will descend upon them, etc." omitting the key words: "all of them reciting the Book of Allah." Then the same editor/ commentator(s) had the gall to comment: "This Hadith... does not tell us in any way that this group of people recite the Qur'an all at once. This is Bid`ah for this was not the practice of the Messenger of Allah ." This is tampering compounded with a shameless lie. This misinterpretation and false claim of bid`a is, of course, directed at the Maghribi style of Qur'anic recitation that relies heavily on collective tilâwa in order to strengthen memorization.

(q) The statement (2:848) concerning the Prophet's miracle of seeing behind his back: "It must be borne in mind that a miracle happens with the will of Allah only. It is not at all in the power of the Prophet . Had he been capable of working a miracle on his own, he would have shown it at his own pleasure. But no Prophet was ever capable of it, nor was the Prophet an exception to this rule." In truth this speech comes directly from books such as Isma`il Dehlvi's Taqwyatul Iman concerning which Abu al-Hasan al-Thanvi said: "The words used by Isma`il Dehlvi are, of course, disrespectful and insolent. These words may never be used." (Imdaad-ul-Fataawa 4:115)

(r) The statement (2:861): "The right number of rak`ats in the Tarawih prayers is eight because the Prophet never offered more than eight rak`ats... It is not in any case twenty rak`ats. Authentic Ahâdith prove this pont abundantly." This is a transgressive innovation (bid`a mufassiqa) as it rejects the command of the Prophet to "obey the Sunna of the Rightly-Guided Caliphs after me" and also kufr as it violates the passive Consensus (ijmâ` sukut') of the Companions over twenty rak`ats.

(s) The statement (2:905): "Twenty rak`at Tarawih is not confirmed from any authentic hadith, nor its ascription to `Umar ( is proved from any muttasil (connected) hadith." This is a blatant lie, as the number of hadith masters who graded as sah'h the connected chains back to `Umar establishing twenty rak`at Tarawih are too numerous to count. They provided the basis on which the Ulema concur in declaring that Consensus formed on the matter among the Companions as stated by al-Qari, al-Zayla`i, al-Haytami, Ibn al-Humam, Ibn Qudama, and a number of other major jurists of the Four Schools.2

(t) The statement (2:1025): "In the present age Shaykh Nasir al-Din al-Albani has done a very remarkable work in this field [hadith]. He has separated the weak Ahadith found in the four famous volumes of Ahadith (Abu Dawud, al-Tirmidhi, al-Nasa'i, and Ibn Majah) from the authentic and prepared separate volumes of authentic and weak ahadith. This work of Albani has made it easy for the ordinary Ulema to identify the weak Ahadith. Only a man of Shaykh Albani's caliber can do research on it. The ordinary Ulema and religious scholars of the Muslims are heavily indebted to him for this great work and they should keep it in view before mentioning any hadith. They should mention only the authentic Ahadith and refrain from quoting the weak ones. It is wrong to ignore this work on the ground that Shaykh Albani is not the last word on the subject.... As Muhaddithin have done a great service to the Muslim Umma by collecting and compiling the Ahadith, similarly in the style of Muhaddithin, and in keeping with the principles laid down by them, the research carried out to separate the authentic Ahadith from the weak is in fact an effort to complete their mission. In this age, Almighty Allah has bestowed this honor on Shaykh Albani." All this fawning will not hide the facts that al-Albani has been exposed as the innovator of this age par excellence and that his splitting of the books of Sunan into Sahih al-Tirmidhi and Da`if al-Tirmidhi and so forth is an unprecedented attack on the Motherbooks of Islam for which, undoubtedly, he shall be brought to account on the Day of Judgment as he was rejected for it by the Ulema of the Umma from East to West.

(u) Another systematic mistranslation for the Chapter-title 338 (2:1294) states: "Prohibition of placing the hands on the sides during Salat" when the Arabic clearly states al-khâsira which means "waist" or "hip" rather than "sides." The same mistranslation is then repeated in the body of the chapter, then a third time in the commentary. This mistranslation is part of the "Salafi" campaign against the Maliki form of sadl consisting in letting the arms hang down by the sides during the standing part of Salât. In some places of North Africa today, such as Marrakech, certain people are paid to declare takfir and tadlil, in the name of the Sunna, of those who pray with their arms hanging by their sides although it is an established Sunna!

Truly we belong to Allah and to Him is our return, and there is no power nor might except in Allah the Exalted and Almighty Lord.

All sincere Muslims should consider themselves warned and warn others that this is NOT a Sunni translation of the great classic of Imam al-Nawawi but an innovative, deviant, and inauthentic translation which should never have been allowed. There are two other English translations of Riyad al-Salihin available in print, any one of which would be preferable to this one. And from Allah comes all success.
------------------------------------------------------------------------
Download dalam format : Pdf ; Doc ; Txt ; Mp3
Baca dalam fullscreen (format swf)
Dengarkan Online :

Baca Selengkapnya ...