“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya bertasbih kepada Allah siapa pun yang ada di langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbihnya masing-masing.Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.” ( QS. An Nuur : 41 )
Beberapa waktu-waktu terakhir kita bisa bersyukur, karena telah banyak buku-buku yang beredar di masyarakat yang membahas mengenai shalat, termasuk didalamnya pelatihan shalat “khusyu’” yang diadakan oleh beberapa pihak.
Penegakkan shalat harus diawali dengan sebuah pengetahuan tentang hal – hal yang menyertainya. Karena amal sedikit dibarengi ilmu pengetahuan, adalah lebih baik daripada amal banyak penuh kebodohan, sehingga pengetahuan mendalam tentang syarat, rukun termasuk adab lahir maupun batin menjadi hal mutlak, bila ingin menapaki “perjalanan dalam shalat”.
Wudhu merupakan tahap pendahuluan dalam proses “penyucian yang agung” dengan menggunakan “air yang merupakan rahasia kehidupan dan hidup itu sendiri” laksana proses penyucian yang dilakukan Jibril kepada Rasulullah dengan menggunakan air suci “zamzam” dengan membelah dada hingga hilang segala hasud dan dengki, bahkan terisi dengan berbagai ilmu,
iman dan hikmah, sehingga bisa diperjalankan dalam “Isra’ dan Mi’raj” sebuah perjalanan spiritual yang menjadi titik balik kemenangan, setelah diterpa berbagai ujian dalam kehidupan Rasulullah beserta kaumnya pada saat itu. Proses penyucian dalam wudhu tak sekedar siraman air yang tanpa makna, namun hakikatnya melebihi dari ritualnya itu sendiri, karena wudhu yang sebenarnya merupakan proses pembersihan jiwa dari segala noda dan cela yang dilakukan oleh nafsu – nafsu dunia yang telah memperalat tangan, wajah, kepala dan kaki. Setelah terbersihkan dari segala noda baru si hamba diperbolehkan mulai memasuki halaman – halaman untuk menghadiri “pertemuan agung dari segala keagungan bahkan jauh – jauh melebihi batas keagungan yang terbersit oleh fikiran dan akal manusia itu sendiri”.
Kemudian saat undangan suci “menuju kemenangan” diperdengarkan, maka sang hatipun begitu bergejolak untuk mendatanginya, sekalipun dengan “merangkak” karena begitu menggelora keinginan rindunya, untuk mendatangi pertemuan dengan Sang Kekasih. Dengan berpakaian “tawadhu” dan membuang pakaian-pakaian “kesombongan” si hambapun tertatih – tatih melangkah ke halaman “tempat pertemuan” dengan penuh kegelisahan “akan tertolaknya penghadapannya” dan rasa malu yang begitu tinggi, atas ditutupinya keburukan – keburukan perangai dan tindak lakunya, dengan pakaian “hijab malakut” oleh Sang Kekasih, sehingga orang lain tidak mengetahui kejelekannya.
Kemudian, ditengah keputusasaan dan harapan akan rakhmat dan kasih sayang yang begitu agung dari Sang Kekasih, si hamba mulai berdiri dengan lurus, menghadapkan wajahnya kepada Sang Kekasih dan menutup semua kekerdilan – kekerdilan di belakangnya, hanya satu menatap Sang Maha Agung dari Segala Keagungan Yang Ada, hingga terbukalah pintu pertama saat lisan terbata – bata berucap, “Allahu Akbar ( Allah Maha Besar )”, kemudian si hambapun melangkah dengan penuh rasa malu, dan tawadhu karena melihat keagungan yang belum pernah tergambarkan oleh dirinya.
Iapun terus menerus memuji – muji Sang Kekasih, karena telah memberi “perkenan-Nya” untuk masuk, karena sesungguhnya “tanpa perkenan-Nya” ia termasuk golongan setan yang terkutuk. Iapun tersungkur jatuh tak tersadarkan diri, karena begitu ngeri yang tanpa batas melihat kengerian di hari “yaumid diin”, kemudian Sang Kekasihpun melimpahkan “limpahan rakhmat-Nya” hingga si hamba diberi kemampuan untuk memohon supaya digolongkan ke dalam “orang-orang yang beruntung dan bukan golongan orang – orang yang sesat”
Demikianlah, si hamba terus melangkah dan melangkah sampai “mendengar dan menyaksikan” semua sujud dan tasbihnya semua makhluk di langit dan bumi hingga iapun terjatuh dan terjatuh lagi karena tidak sanggup melihat keagungan dan keluasan yang ia saksikan.
Ini adalah sekelumit lintasan yang tergambar melalui tulisan ini, dan sebenarnya tulisan inipun tidak akan menampung begitu maha luas dan mendalamnya “keindahan perjalanan dalam shalat”. Yang tertulis disinipun hanya kata dan ungkapan dari penulis, karena saya sendiripun belum sampai pada tahap anugerah seperti itu. Namun ingatlah, bahwa perjalanan itu sungguh bukan merupakan perjalanan yang mudah, mutlak dibutuhkan bimbingan “sang mursyid mukammil” untuk bisa berjalan dengan benar,karena godaan di kiri kanan perjalanan itu sendiri banyak jumlah dan variasinya.
“Ya Allah jauhkan dari diri kami sum’ah dan mahbubiyyah, jadikanlah akhir segala urusan kami sebagai kebaikan.”. Amiin.
0 komentar:
Posting Komentar