Spiga

Belajar Bersyukur

Seperti biasanya, selepas ba’da shubuh saya bersama istri jalan pagi di sebuah sudut jalan timur kota Bandung, Pasir Impun namanya. Tidak terlalu dikenal, dan kondisi jalannyapun saat ini rusak, sehingga perlu kehati-hatian bila lewat di jalan ini.

“Den, singkong den,,,” sayup-sayup terdengar suara seorang kakek menawarkan singkong di seberang sana. “Weh, kebetulan sekali…” batin saya. Setelah ngobrol ngalor ngidul, iseng aku bertanya, “ga bosen kek, udah tua masih jualan… kan lebih baik di rumah, nimang cucu… dan banyak ibadah”. Mendengar ocehan saya, sang kakek agak sedikit berbeda raut mukanya.


“Den, justru dengan jualan seperti ini saya terlepas dari kebosanan. Dengan jualan seperti ini sayapun bisa belajar bersyukur….” Sebuah kalimat begitu merdu meluncur dari sang kakek. “Setiap pagi, saya bisa bertemu orang – orang baru, setiap pagi saya bisa menjual singkong yang baru….kalau Aden, memandang ini hal yang membosankan, justru saya memandang setiap hari adalah anugerah yang baru, karena setiap berganti hari, berarti Allah masih ngasih kakek sebuah kesempatan…. untuk belajar bersyukur…”, demikian seutas kalimat hikmah meluncur begitu wangi dari seorang kakek.

Setelah sampai di rumah, lama sekali aku merenung, “dalam sekali untaian hikmah kakek tadi”. Saya yang kebetulan masih jauh lebih muda dari sang kakek, sering tidak berfikir ke arah sana, hari-hari yang terlewati serasa hanya sebuah rutinitas belaka. Seorang kakek, dengan segala rendah hatinya, masih berucap “belajar bersyukur”, padahal untuk ukuran saya… wuih…. Itu lebih – lebih dari syukur.

Saya jadi teringat, sebuah untaian hikmah agung dari Syaikh Ibnu Athaillah dalam karya besarnya “Al Hikam”, “Siapa yang tidak mengenal harga nikmat ketika adanya nikmat itu, maka ia akan mengetahui harga kebesaran nikmat setelah tidak adanya”. Masih terbayang-bayang di pelupuk mata saya, bagaimana saya selalu menggerutu, mengeluh terhadap semua yang terjadi, padahal nikmat di depan mata selalu Allah limpahkan kepada saya.

Bagaimana hari – hari yang saya lalui, disibukan dengan pencarian dunia hingga untuk menjalan shalat tepat waktu saja… sering terabaikan, padahal kurang baik apa, Allah menganugerahkan kesehatan, keselamatan kepada saya. Begitu pongkahnya, berjalan di bumi Allah seolah melupakan segalanya.

Saat kumandang dzhur tiba, tak terasa langkah tubuh lunglai menuju sujud ke hadlirat-Nya, namun…. Begitu saya baca, “wa mahyaaya wa mamaati lillaahi rabbil’aalamin”, tubuhku tersungkur…. begitu malunya diri ini… bagaimana mungkin berkata seperti itu dihadapan Allah ….padahal hidup saya, jauh… daripada itu……, bagaimana kalau saya dicap pendusta ????

Ketika shalat telah usai, sayapun hanya bisa memohon supaya tidak dimasukkan ke dalam golongan orang yang dicabut nikmatnya dengan tanpa diketahui, seperti terungkap oleh Sariy Assaqathi, “Siapa yang tidak menghargai nikmat, maka akan dicabut nikmat itu dalam keadaan ia tidak mengetahui”

1 komentar:

  ARazak Ngah

18 November 2008 pukul 13.31

Sebarkanlah ajaranku walau satu ayat pun"(Sabda nabi SAW) "Nescaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar."